2016/01/13

Rakyat Riau Teripu



 
Laha Kasabat wa’alaiha maktasabat. Terimahlah setiap apa yang dikerjakan. Jika mengerjakan yang baik maka terimalah kebaikannya. Sebaliknya, jika mengerjakan keburukan terimahlah keburukan dari apa yang dikerjakan.

Matahari Hilang, tidak terlihat. Bukan berarti malam. Semesta mendung, teduh. Bukan berarti hujan mau turun. Aktivitas masyarakat terlihat sangat berdurasi karna disarankan lebih banyak dirumah dari pada diluar. Dari jendela rumah, gedung-gedung, kita terasa berada dikhayangan, diatas awan. Ternyata tidak. putih-putih seperti awan tersebut rupanya bencana, Asap. Rakyat riau tertipu.

Karna merasa tertipu, rakyat riau yang dilanda persepsi berada didunia khayangan setiap tahunnya, selama delapan belas tahun. Banyak mencaci, mengomel, mengumpat. Media sosialpun menjadi wadah terhangat setiap harinya. Perbincangan didunia khayalan sampai keibu kota yang justrul tenggelam didalam air, kebanjiran. Lebih mengharukannya lagi, mereka yang tidak merasakan berada didunia khayangan, diluar daerah yang dilanda bencana, mengatakan bahwa rakyat riau berdosa, sudah meninggalkan ajaran agama, budaya lokal, petuah melayunya sudah usang, tidak bertuah. Maka inilah yang disebut Ahli Psikologi sebagai “Rasionalisasi Sour Grapes  kebiasaan melihat orang lain menderita lalu menimpakan kesalahan pada penderitanya.

Dunia khayangan, Dunia dalam Air (Kebanjiran), Meriam Bambu (Gunung Meletus) dan Bencana lainnya yang melanda negeri ini mengingatkan penulis pada teori Ca Van Peursen tentang tiga tahapan kebudayaan manusia. Yaitu. Mitis, Teologis dan Fungsional.

Pertama dalam pandangan mitis. Manusia tidak setara dengan Alam. Kebudayaan cara pandang seperti ini sudah ada pada zaman yunani kuno. Masyarakatnya percaya pada dewa-dewi seperti dewa Zeus (Dewa iklim, petir dan cuaca). Hera (Dewi pelindung pernikahan, pengorbanan, kesetian). Peseidon (Dewa Laut, Gempa). Hermas ( Dewa Pelindung para petualang) dan dewa-dewi lainnya. mereka percaya jika dewa-dewi tidak diberikan sesajian, meletakan daging, buah dan sayur-sayuran digunung-gunung, laut, hutan maka dewa-dewi akan marah dan menurunkan bencana. Ini bukanlah bentuk rasa syukur atau menjaga kebudayaan seperti yang dilakukan masyarkat hari ini, meskipun masih ada yang meyakini seperti masyarkat yunani kuno yang meyakini pandangan mistis.

Kedua Teologis. Pandangan yang mengunakan nalar dan Ilmiah bahwa setiap bencana yang melanda dipercayai dengan hukum sebab-akibat. Sebagai contoh asap yang melanda riau disebabkan tanah riau tanah gambut. Setiap api yang membakarnya sukar dipadamkan dan akan terus menjalar. Bisa saja api muncul karna pemanasan matahari, puntung rokok yang tidak sengaja dibuang dan atau bisa saja sengaja dibakar sehingga mengakibat kebakaran hebat dan mengelupkanr asap yang tak terhingga. Sehingga kota, desa serasa berada diatas awan, didunia khayangan. 

Dan atau contoh lainnya kebanjiran. Jika kebanjiran, masyarakat yang berpandangan kebudayaan mistis akan memperbanyak sesajian berbeda dengan masyarkat yang berpandangan Teologis. Banjir yang melanda disebabkan hujan yang terus-menerus turun, tidak henti. Sungai meluap. Maka masyarakat ini akan memperbanyak membangun waduk, Draise, irigasi, membersikan selokan dan sebagainya.

Ketiga Fungsional. manusia menempati posisi lebih tinggi dari pada alam. Dalam pandangan ini peran manusia sebagai Khalifah ditekan secara maksimal. Manusia mengatur alam, manusia mengelola alam, manusia memanfaatkan alam, manusia diberikan otoritas tapi manusia diberikan rambu-rambu dalam mendayagunakannya. Jika tidak, terimahlah setiap koksekuensi yang dilakukan.

Lalu bagaimana dalam penyikapan “Rasionalisasi Sour Grapes” kebiasaan melihat orang lain menderita lalu menimpakan kesalahan pada penderitanya. Seperti dunia khayangan disebabkan oleh dosa-dosa masyarkat riau yang meluap dan pemimpinnya yang zholim. Itu pandangan beberapa orang, bukan pandangan semua orang. Orang-orang punya pandangan berbeda dalam setiap penyikapan tapi yang pasti Sigmun Freud telah mengingatkan bahwa pandangan kebudayaan mistis ada karena masyarkatnya melakukan reaksi sikap mendahului pikirannya.

Maka berhati-hatilah dalam berwacana, berpandangan, berkomentar. Tidak mendahului Nalar, akal dan atau belum mencari kepastian atas kebenarannya jangan memberikan pernyataan apalagi menghardik.

Hingga akhirnya, dunia khayangan yang melanda masyarakat riau setiap tahunnya bisa memberikan pelajaran terhadap kita bahwa rakyat riau ternyata tertipu. Mereka mendahulukan reaksinya sebelum bernalar, menghujat sebelum berfikir, bertindak sebelum mencari tau kebenarannya bahwa kebakaran yang melanda hutan bukan saja dinikmati oleh Penguasa atau Pengusaha tapi juga aktifis yang mengaku mencintai lingkungan.  Rakyat riau tertipu. 

No comments:

Post a Comment