Laha Kasabat wa’alaiha maktasabat.
Terimahlah setiap apa yang dikerjakan. Jika mengerjakan yang baik maka
terimalah kebaikannya. Sebaliknya, jika mengerjakan keburukan terimahlah
keburukan dari apa yang dikerjakan.
Matahari
Hilang, tidak terlihat. Bukan berarti malam. Semesta mendung, teduh. Bukan berarti
hujan mau turun. Aktivitas masyarakat terlihat sangat berdurasi karna
disarankan lebih banyak dirumah dari pada diluar. Dari jendela rumah,
gedung-gedung, kita terasa berada dikhayangan, diatas awan. Ternyata tidak. putih-putih
seperti awan tersebut rupanya bencana, Asap. Rakyat riau tertipu.
Karna
merasa tertipu, rakyat riau yang dilanda persepsi berada didunia khayangan
setiap tahunnya, selama delapan belas tahun. Banyak mencaci, mengomel,
mengumpat. Media sosialpun menjadi wadah terhangat setiap harinya. Perbincangan
didunia khayalan sampai keibu kota yang justrul tenggelam didalam air,
kebanjiran. Lebih mengharukannya lagi, mereka yang tidak merasakan berada
didunia khayangan, diluar daerah yang dilanda bencana, mengatakan bahwa rakyat
riau berdosa, sudah meninggalkan ajaran agama, budaya lokal, petuah melayunya
sudah usang, tidak bertuah. Maka inilah yang disebut Ahli Psikologi sebagai “Rasionalisasi Sour Grapes” kebiasaan melihat orang lain menderita lalu
menimpakan kesalahan pada penderitanya.
Dunia
khayangan, Dunia dalam Air (Kebanjiran), Meriam Bambu (Gunung Meletus) dan
Bencana lainnya yang melanda negeri ini mengingatkan penulis pada teori Ca Van Peursen tentang tiga tahapan
kebudayaan manusia. Yaitu. Mitis,
Teologis dan Fungsional.
Pertama
dalam pandangan mitis. Manusia tidak setara dengan Alam. Kebudayaan cara
pandang seperti ini sudah ada pada zaman yunani kuno. Masyarakatnya percaya
pada dewa-dewi seperti dewa Zeus
(Dewa iklim, petir dan cuaca). Hera
(Dewi pelindung pernikahan, pengorbanan, kesetian). Peseidon (Dewa Laut, Gempa). Hermas
( Dewa Pelindung para petualang) dan dewa-dewi lainnya. mereka percaya jika
dewa-dewi tidak diberikan sesajian, meletakan daging, buah dan sayur-sayuran
digunung-gunung, laut, hutan maka dewa-dewi akan marah dan menurunkan bencana.
Ini bukanlah bentuk rasa syukur atau menjaga kebudayaan seperti yang dilakukan
masyarkat hari ini, meskipun masih ada yang meyakini seperti masyarkat yunani
kuno yang meyakini pandangan mistis.
Kedua Teologis.
Pandangan yang mengunakan nalar dan Ilmiah bahwa setiap bencana yang melanda
dipercayai dengan hukum sebab-akibat. Sebagai contoh asap yang melanda riau
disebabkan tanah riau tanah gambut. Setiap api yang membakarnya sukar
dipadamkan dan akan terus menjalar. Bisa saja api muncul karna pemanasan
matahari, puntung rokok yang tidak sengaja dibuang dan atau bisa saja sengaja
dibakar sehingga mengakibat kebakaran hebat dan mengelupkanr asap yang tak
terhingga. Sehingga kota, desa serasa berada diatas awan, didunia khayangan.
Dan
atau contoh lainnya kebanjiran. Jika kebanjiran, masyarakat yang berpandangan kebudayaan mistis akan memperbanyak
sesajian berbeda dengan masyarkat yang berpandangan
Teologis. Banjir yang melanda disebabkan hujan yang terus-menerus turun,
tidak henti. Sungai meluap. Maka masyarakat ini akan memperbanyak membangun
waduk, Draise, irigasi, membersikan selokan dan sebagainya.
Ketiga Fungsional.
manusia menempati posisi lebih tinggi dari pada alam. Dalam pandangan ini peran
manusia sebagai Khalifah ditekan secara maksimal. Manusia mengatur alam,
manusia mengelola alam, manusia memanfaatkan alam, manusia diberikan otoritas
tapi manusia diberikan rambu-rambu dalam mendayagunakannya. Jika tidak,
terimahlah setiap koksekuensi yang dilakukan.
Lalu
bagaimana dalam penyikapan “Rasionalisasi
Sour Grapes” kebiasaan melihat orang lain menderita lalu menimpakan kesalahan
pada penderitanya. Seperti dunia khayangan disebabkan oleh dosa-dosa masyarkat
riau yang meluap dan pemimpinnya yang zholim. Itu pandangan beberapa orang,
bukan pandangan semua orang. Orang-orang punya pandangan berbeda dalam setiap
penyikapan tapi yang pasti Sigmun Freud
telah mengingatkan bahwa pandangan kebudayaan
mistis ada karena masyarkatnya melakukan reaksi sikap mendahului
pikirannya.
Maka
berhati-hatilah dalam berwacana, berpandangan, berkomentar. Tidak mendahului
Nalar, akal dan atau belum mencari kepastian atas kebenarannya jangan
memberikan pernyataan apalagi menghardik.
Hingga
akhirnya, dunia khayangan yang melanda masyarakat riau setiap tahunnya bisa
memberikan pelajaran terhadap kita bahwa rakyat riau ternyata tertipu. Mereka
mendahulukan reaksinya sebelum bernalar, menghujat sebelum berfikir, bertindak
sebelum mencari tau kebenarannya bahwa kebakaran yang melanda hutan bukan saja
dinikmati oleh Penguasa atau Pengusaha tapi juga aktifis yang mengaku mencintai
lingkungan. Rakyat riau tertipu.

No comments:
Post a Comment