Hoax bukan semata sebuah
kebohongan yang bertujuan sebagai Misleading
dalam upaya menyesatkan sebuah informasi atau apa yang disebut dengan Fake News. Melainkan jauh lebih senonoh
dari itu. Persis seperti yang dikatakan Craig
Silverman dalam Columbia Journalism
Review bertajuk “Lies, Damn Lies and
Viral Content” yang mendefenisikan hoax sebagai
rangkaian
informasi yang memang sengaja disesatkan
namun dijual sebagai kebenaran.
Tidak sampai disana Ireton, C & Julie Posetti dalam Handbook for Jurnalism Education
and Training lebih keji
menafsirkan hoax sebagai berita
palsu yang mengandung informasi
yang sengaja menyesatkan
orang dan memiliki
agenda politik. Penulis ingin menggaris bawahi memiliki agenda politik
karna agenda ini akan berakibat fatal bagi kedaulatan bangsa dan negara yang
kita cintai sejak dalam kandungan sampai ke detik terakhir roh dicabut dari tenggorokkan.
Namun sebelum itu kita mesti
review kembali kasus-kasus hoax yang pernah mengguncang urat nadir tanah air sebagai
bahan pembelajaran. Sebut saja kasus hoax kudeta purnawirawan TNI yang
ditayangkan di Dragon Tv, Hoax pemukulan Young Lek, Hoax penganiayaan Ratna
Sarumpaet, Hoax ancaman gempa dan tsunami susulan berdaya 8,1 Skala Richter kembali melanda palu, Hoax
rekaman Blox Box Lion JT610, Hoax konspirasi imunisasi dan vaksin, Hoax kartu
nikah dengan 4 istri dan sebagainya yang meramba luas keberagam platform media
elektronik yang membuat masyarakat menjadi resah. Ketenangan dan ketegangan mencemaskan
kita semua.
Disisi lain Mastel,
Masyarakat Telematika Indonesia sebuah lembaga yang konsen pada minat dan
pengamatan bidang telekomunikasi di tanah air melakukan survey pada tanggal 13
februari 2017 yang menunjukkan hasil bahwa 61,5% dari 1.116 responden menerima
hoax setiap hari. Hoax yang tersebar dalam bentuk tulisan berkisar diangka 62,10%,
Gambar 37,50% dan video 0,40%. Hoax itu paling banyak diterima dari situs web,
aplikasi chatting dan media sosial.
Hoax
tersebut tersistem dan terorganisasi dengan sempurna oleh akun-akun anonim yang
dikerja dan diperintahkan oleh telunjuk-tulunjuk dibalik layar. Tidak sampai
disana, 47,10% masyarakat ikut menyebarkan hoax karna mengetahui itu sebagai
sebuah kebenaran dari orang-orang yang dipercaya. Matel juga memberikan data bahwa
91,80% hoax yang tersebar adalah tentang sosial politk yang berkaitan dengan pilkada
dan pemerintahan guna mempengaruhi persepsi publik terhadap seseorang dan partai
politik.
Memang
hoax tentang bencana alam, berita duka, penipuan keuangan dan candaan juga
berbahaya tetapi tidak seberacun dan semematikan hoax tentang sosial politik
sebab seorang kepala daerah dipentas politik kabupaten dan kota maupun seorang kepala
negara yang sebentar lagi kita akan merayakan pesta demokrasi pemilihan calon presiden
dan wakil presiden akan berbuntut panjang pada Inkonstitusional status presiden terpilih
karna mereka yang memenangkan pemilu melakukan kecurangan melalui serangkai penyebaran
berita hoax guna mendeskreditkan lawan politik disatu pihak dan dipihak lain mengglorifikasikan
dirinya sebagai dewa yang paling mulia serta yang paling pantas mendapuk
kepemimpinan nasional adalah sesuatu yang keliru.
Jika mereka para penebar
hoax berhasil memenangkan pertempuran politik merebut kekuasaan dengan
kecurangan maka dikemudian hari para pendukung capres dan cawapres yang kalah
tidak akan merasa puas sedikitpun dan menerima begitu saja. Serta akan berupaya
membeberkan fakta-fakta kebohongan yang dilampirkan pemenang untuk terus
diselidiki dan dicari cara kesalahannya guna meng-impeachment kepala negara
yang Inkonstitusional.
Dan tidak mungkin seorang presiden
yang terpilih rela meletakkan mahkotanya begitu saja tanpa melakukan perlawanan
dengan kekuasaan yang berada digenggamannya. Begitu sebaliknya lawan politik akan
semakin brutal menjadi demagog yang seutuhnya yang menghasut dan membakar
amarah rakyat untuk membalas kembali perlawanan. maka ini akan menjadi rantai setan yang bahkan dapat
menghancurkan indonesia raya tercinta.
Untuk para pembuat hoax segeralah
refleksikan kembali perihal perbuatan buruk yang dapat mengancam kedaulatan
bangsa dan negara. Untuk masyarakat indonesia meskipun sosiolog Universitas Gajah Mada, Derajad S
Widhyharto pernah mengungkapkan bahwa alasan sebagian orang suka menyebarkan
berita bohong karena terutama budaya komunikasi kita selama ini terbiasa formal
normatif, di mana identitas sangat dibutuhkan.
Maka sudah saatnya kita sadar dan berhenti menyebarkan berita hoax yang
sejatinya kebenaran tersebut belum dikoreksi dan diklarifikasi namun sudah disebarkan
karna ingin diberi pengakuan atas keberadaan dirinya. Bukankah kita ingin indonesia menjadi salahsatu
dari 7 kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2045 dan bukankah kita tidak
menginginkan indonesia bubar 2030 seperti ramalan novel Ghost Fleet. Maka berhentilah memproduksi dan membagikan hoax karna momentum ini adalah
memonetum paling sempurna untuk melawan hoax demi suksesnya pemilu 2019 yang
damai, berkualitas, dan terwujudnya keberlanjutan pembangungan nasional.
Penulis Muhammad Yunus
gambar www.arah.com
#lawanhoax
#kataindonesia






